Lompat ke isi utama

Berita

Bawaslu Soroti Masalah Logistik dan DPT di Makassar, Dorong Evaluasi untuk Pemilu yang Lebih Berintegritas

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Evaluasi Pelaksanaan Pemilu untuk Membangun Pemilu dan Pemilihan yang Berintegritas”, Kamis (6/11/2025), di Aula Kantor KPU Kota Makassar.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Evaluasi Pelaksanaan Pemilu untuk Membangun Pemilu dan Pemilihan yang Berintegritas”, Kamis (6/11/2025), di Aula Kantor KPU Kota Makassar.

Makassar, — Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Evaluasi Pelaksanaan Pemilu untuk Membangun Pemilu dan Pemilihan yang Berintegritas”, Kamis (6/11/2025), di Aula Kantor KPU Kota Makassar.

Kegiatan ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, di antaranya perwakilan Pemerintah Kota Makassar, Polrestabes Makassar, partai politik, organisasi masyarakat sipil (OMS), serta Bawaslu Kota Makassar.

FGD ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan 2024 sebagai bahan penyempurnaan menuju penyelenggaraan Pemilu 2029 yang lebih berintegritas.

Dalam forum tersebut, Koordinator Divisi Pencegahan Bawaslu Kota Makassar, Risal Suaib, menyoroti sejumlah persoalan yang masih menjadi catatan penting dalam penyelenggaraan Pemilu sebelumnya.

“Masih banyak residu masalah yang belum terselesaikan. Jika tidak dievaluasi sejak sekarang, kita bisa mengulang kesalahan yang sama pada Pemilu mendatang,” ujar Risal Suaib di hadapan peserta FGD.

Risal menyebutkan, terdapat empat persoalan utama yang menjadi sorotan Bawaslu Kota Makassar:

  1. Data Pemilih Tetap (DPT) yang masih menyisakan residu. Terdapat lebih dari 73 ribu undangan memilih (Form C6) yang tidak terdistribusi akibat kategori pemilih tidak dikenal.

  2. Lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tidak ideal. Beberapa TPS berjarak jauh dari domisili warga dan bahkan mengalami keterlambatan pembukaan akibat tata kelola logistik yang amburadul.

  3. Kekurangan dan kesalahan logistik. Masih ditemukan kekurangan kertas plano serta surat suara tertukar antar daerah pemilihan (dapil).

  4. Rekrutmen dan pelatihan KPPS yang dinilai kurang memadai. Waktu bimtek yang singkat menyebabkan perbedaan pemahaman regulasi antar kecamatan, terutama terkait surat suara tertukar.

Selain persoalan teknis, diskusi juga membahas tingginya biaya politik (cost politik) dan penggunaan anggaran negara untuk Alat Peraga Kampanye (APK).

Beberapa peserta menilai, APK sebaiknya disediakan langsung oleh peserta pemilu atau partai politik, bukan menggunakan dana publik dari pajak masyarakat.

Isu lain yang mengemuka adalah keterlibatan perempuan dalam kegiatan politik, termasuk kebutuhan ruang ramah anak di lokasi kampanye.
Sejumlah peserta menilai, keterlibatan perempuan seringkali tidak diimbangi dengan fasilitas aman dan nyaman bagi anak-anak mereka.

Sementara itu, Ketua Bawaslu Kota Makassar, Dede Arwinsyah, menyoroti aspek kelembagaan antara KPU dan Bawaslu yang menurutnya masih perlu diperjelas.

“Selama ini Bawaslu hanya bisa memberi rekomendasi terhadap pelanggaran etik, sedangkan KPU juga punya kewenangan terhadap penyelenggara ad hoc-nya sendiri. Ini perlu satu lembaga yang tegas agar tidak tumpang tindih,” kata Dede.

Dede juga menegaskan pentingnya keterbukaan data pemilih untuk mencegah penyalahgunaan data yang memiliki nilai ekonomi.

“Data pribadi seperti NIK tentu harus dilindungi, tapi selain itu seharusnya dapat dibuka agar tidak ada pihak yang memonopoli data pemilih,” tambahnya.

Melalui FGD ini, KPU dan Bawaslu Kota Makassar berharap masukan dari berbagai pihak dapat menjadi rekomendasi konkret untuk perbaikan sistem Pemilu dan Pemilihan mendatang.

FGD ini sekaligus menjadi momentum memperkuat sinergi antara penyelenggara, pengawas, dan masyarakat dalam mewujudkan Pemilu 2029 yang jujur, adil, dan transparan.

Penulis dan Foto : Nisrinah Atikah

Aditor : Armin