Lensa Pengawasan: Arga dan Cahaya Demokrasi Kota Daeng (Bagian 6 - PantauKita.id)
|
Hujan turun deras sore itu, mengetuk-ngetuk kaca kafe kecil di kawasan Panakkukang seperti irama yang menenangkan. Udara dingin bercampur aroma kopi membuat suasana terasa akrab, seolah memaksa siapa pun yang ada di dalamnya untuk membuka percakapan yang lebih jujur dari biasanya. Arga dan Sinta duduk di meja kecil dekat jendela, hanya setengah meter dari gemericik air yang berlari deras di luar.
Sinta memegang gelas kopinya dengan dua tangan, mencoba menghangatkan jari-jarinya. Wajahnya sedikit pucat karena udara, tetapi matanya tetap menyala seperti biasa—mata yang terlalu cepat membaca situasi dan terlalu lambat menyerah pada kenyataan.
“PantauKita ini lahir dari frustrasi,” katanya tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat mengambang.
Arga menaikkan alis. “Frustrasi?”
“Iya.” Sinta menarik napas panjang, seperti menggali kembali kenangan yang tidak begitu menyenangkan. “Karena laporan warga sering tidak ditindak. Orang lapor, tapi gak ada kabar. Atau laporannya hilang di tengah jalan. Banyak yang capek berharap. Jadi…” Ia mengangkat bahunya pelan. “Kami buat sistem sendiri. Biar publik bisa pantau langsung, tanpa nunggu belas kasihan siapa pun.”
Arga tak langsung menjawab. Ia mengaduk kopi hitamnya perlahan, lalu menatap Sinta cukup lama sampai membuat perempuan itu gelisah. “Kalau Bawaslu tindaklanjuti datamu,” katanya akhirnya, “apa kamu siap ikut bertanggung jawab kalau datanya salah?”
Pertanyaan itu jatuh berat—bukan karena Arga berniat menyerang, tetapi karena itu adalah kenyataan yang sering ia hadapi. Laporan palsu bisa menghancurkan nama orang. Tuduhan salah bisa memicu kerusuhan kecil. Tanggung jawab hukum dari laporan warga tidak sederhana.
Sinta terdiam. Jemarinya mengetuk-ngetuk bagian bawah gelas seakan mencari jawaban di sana. Lama kemudian, ia mengangkat wajahnya. “Kalau takut salah, kita nggak akan pernah benar, kan?”
Arga ingin membalas dengan argumen panjang, namun ucapan itu justru membuatnya tersenyum kecil. Begitulah Sinta: idealisme yang tampak ceroboh, tapi memiliki keberanian yang sulit tidak dihormati.
“Kamu suka debat ya?” tanya Arga sambil menyandarkan tubuh.
Sinta tertawa, ringan dan jujur. “Lebih suka bikin orang berpikir. Debat itu bonus.”
Suasana yang tadinya tegang mencair perlahan. Hujan di luar berubah dari deras menjadi gerimis, seiring percakapan mereka yang berubah dari formal menjadi akrab. Mereka mulai membahas hal-hal yang lebih ringan - pengalaman Arga menghadapi warga yang marah karena proses administrasi, cerita Sinta tentang programmer relawan yang hobi tidur di bawah meja kantor komunitas, hingga candaan tentang mafia gorengan di kampus.
Di sela obrolan itu, Sinta menggoda sambil mengangkat alis. “Awas, nanti kamu malah viral. ‘Bawaslu pacaran sama aktivis garis keras.’ Besok pasti trending.”
Arga terkekeh. “Kalau demi demokrasi, saya rela.” Nada suaranya bercampur antara bercanda dan sedikit serius.
Sinta tak mampu menahan tawa. “Hati-hati, Pak. Demokrasi bisa berantakan kalau kamu mulai sok manis begitu.”
Arga hanya mengangguk dengan ekspresi tak bersalah, membuat Sinta semakin geli. Untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka di lorong Rappocini, Arga tampak membuka diri bukan sebagai pejabat, tapi sebagai manusia biasa—seorang yang lelah, serius, tapi ternyata juga punya selera humor yang cukup bagus.
Waktu berjalan tanpa mereka sadari. Hujan berhenti, tetapi suara tetesan dari langit-langit masih terdengar. Lampu-lampu kafe mulai dinyalakan, memberi cahaya hangat yang membuat meja mereka terasa seperti ruang kecil yang terpisah dari dunia luar.
Di luar sana, permainan politik sedang bergerak. Farid Mahendra sedang menyusun strategi untuk mengalihkan fokus Bawaslu. Tim di lapangan sedang bersiap menciptakan kebisingan. Dan publik mulai memantau setiap pergerakan.
Namun di meja kecil itu, dua orang yang berbeda latar belakang—birokrasi dan aktivisme digital—sedang perlahan menyusun jembatan. Sebuah kolaborasi yang tidak direncanakan, tapi mungkin justru paling dibutuhkan.
Dan tanpa mereka sadari, hari itu, PantauKita.id bukan hanya sebuah platform. Ia mulai menjadi titik temu antara kejujuran, teknologi, dan keberanian. Sebuah titik yang akan membuat badai lebih besar segera datang.
(bersambung)
Foto : Humas Bawaslu Kota Makasssar
Penulis : @rminth