Lompat ke isi utama

Berita

Lensa Pengawasan: Arga dan Cahaya Demokrasi Kota Daeng (Bagian 3 - Laporan yang Tidak Biasa)

Arga dan Cahaya Demokrasi Kota Daeng

Arga dan Cahaya Demokrasi Kota Daeng

Pagi berikutnya, saat Arga baru saja meletakkan gelas kopi di meja kerjanya, sebuah bunyi notifikasi email memecah keheningan kantor Bawaslu kota. Ia menunduk, membuka laptop, dan menemukan sebuah pesan tanpa pengirim jelas. Hanya tertulis: “Pembagian uang untuk pemilih sudah dimulai di beberapa kelurahan.” Tidak ada salam pembuka, tidak ada tanda tangan, hanya beberapa koordinat lokasi yang disertai dua foto buram—seolah diambil tergesa-gesa dari balik sesuatu.

Arga memicingkan mata, mencoba menajamkan foto itu. Bayangan tangan yang sedang menyodorkan amplop terlihat samar. “Laporannya aneh. Anonymous begini kadang cuma provokasi,” gumamnya.

Didin, rekan kerjanya, yang biasa di panggil KOMBES – karena memang badannya besar - yang sejak tadi mengamati dari balik bahu, menghela napas panjang. “Ini bisa jebakan, Ga. Kita pernah kena laporan palsu seperti ini dua bulan lalu. Media langsung ribut, padahal TKP-nya kosong.”

Arga menutup laptop pelan, lalu menatap rekannya dengan penuh keyakinan yang mulai mengkristal. “Bisa jebakan, iya. Tapi bisa juga awal yang benar. Dan kalau kita biarkan, bisa keburu hilang jejak.” Jawabannya singkat, tegas, penuh tekanan moral yang ia rasakan sebagai pengawas pemilu.

Tak butuh waktu lama sebelum mereka memutuskan turun langsung ke lapangan. Matahari belum terlalu tinggi ketika mobil dinas mereka berhenti di dekat sebuah gang sempit di kawasan Manggala. Bau minyak goreng dari warung kecil di mulut gang bercampur dengan suara warga yang berseliweran membuat suasana tampak biasa saja—terlalu biasa untuk sebuah kegiatan ilegal.

Arga dan dua pengawas lapangan mengenakan pakaian kasual. Mereka berjalan perlahan, menyelip di antara deretan rumah dan pedagang kecil, berpura-pura menjadi pembeli gorengan. “Tiga risol, Bu,” ujar Arga santai. Padahal matanya terus mengamati ujung lorong.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Di bawah teduhnya pohon mangga, sekelompok orang berkumpul membentuk setengah lingkaran. Tangan mereka bergerak cepat, membagikan amplop kecil berwarna cokelat. Di balik amplop itu, jelas terlihat stempel kecil berlambang sebuah partai politik.

Arga menahan napas. “Itu dia…” bisiknya.

Namun sebelum mereka sempat mendekat, langkah mereka terhenti oleh pemandangan lain yang tak kalah mengejutkan: sekelompok anak muda bersweater dan jaket hitam berdiri tak jauh dari titik pembagian amplop. Mereka serempak mengangkat ponsel, merekam dari berbagai sudut. Mereka bergerak cepat, rapi, seolah sudah terbiasa mendokumentasikan situasi seperti ini.

Salah seorang di antara mereka, perempuan berambut sebahu dengan ransel berisi laptop, mendekati Arga tanpa ragu. Tatapannya tajam, seakan bisa membaca maksud Arga hanya dari cara ia berdiri.

“Bapak pengawas ya?” tanyanya tiba-tiba.

Arga hampir tersedak. “Eh… iya, kenapa?” jawabnya sambil menjaga sikap waspada. Ia tak tahu apakah perempuan ini akan mengganggu tugas mereka atau membantu.

Perempuan itu tidak langsung menjelaskan, melainkan mengangkat ponselnya dan memperlihatkan sebuah aplikasi dengan antarmuka sederhana namun jelas. “Ini. PantauKita.id. Laporan warga soal politik uang. Kami sudah unggah video barusan, termasuk wajah pelakunya sebelum mereka kabur.”

Arga terdiam. Nama aplikasi itu bahkan belum pernah ia dengar dalam rapat resmi manapun.

Melihat kebingungan itu, perempuan tadi tersenyum tipis. “Nama saya Sinta Rahmawati. Aktivis digital. Kami bukan lawan Bawaslu, Pak.” Ia menepuk tasnya ringan, seolah penuh bukti dan strategi. “Tapi kalau Bawaslu lambat… biar masyarakat yang duluan bergerak.”

(bersambung)

Penulis : @rminth