Lompat ke isi utama

Berita

Lensa Pengawasan: Arga dan Cahaya Demokrasi Kota Daeng (Bagian 4 - Pertemuan Dua Dunia)

Lensa Pengawasan: Arga dan Cahaya Demokrasi Kota Daeng

Lensa Pengawasan: Arga dan Cahaya Demokrasi Kota Daeng

Aula besar Universitas Negeri Kota Daeng hari itu penuh sesak oleh mahasiswa, aktivis, dosen, dan perwakilan lembaga pemerintah yang ingin mendengar gagasan baru tentang pengawasan pemilu. Spanduk besar bertuliskan Forum Inovasi Demokrasi terbentang di belakang panggung, seakan menegaskan bahwa zaman memang tengah bergerak ke arah yang menuntut perubahan.

Arga datang tidak sebagai pembicara utama, melainkan sebagai perwakilan lembaga yang diundang. Ia duduk di barisan tengah, mencoba menahan kantuk karena acara molor hampir satu jam dari jadwal. Namun matanya langsung terbuka lebar ketika mendengar nama berikutnya dipanggil oleh MC.

“Pembicara selanjutnya, Sinta Rahmawati — aktivis digital sekaligus pendiri platform PantauKita.id.”

Arga spontan menegakkan punggung. “Jadi dia yang tampil berikutnya,” gumamnya pelan.

Sinta melangkah ke podium dengan keyakinan yang hampir menular. Rambut sebahunya bergerak mengikuti setiap ayunan langkah, sementara laptop dan ponselnya ia taruh di meja kecil di samping. Begitu mikrofon dinyalakan, suara Sinta mengisi seluruh ruangan, tegas dan penuh emosi yang terkontrol.

“Kita tidak bisa berharap pengawasan berjalan hanya dari lembaga resmi,” ujarnya lantang, tatapannya menyapu audiens. “Warga harus jadi pengawas juga. Kita punya mata, kita punya kamera, kita punya internet. Gunakan itu. Buka mata, buka data!”

Riuh tepuk tangan langsung membanjiri ruangan. Beberapa mahasiswa bersorak kecil, merasa tersentuh oleh semangat yang dibawanya. Arga, meski mengakui keberanian Sinta, hanya bisa menggeleng kecil. Baginya, idealisme seperti itu sering kali tak sejalan dengan prosedur hukum yang ketat.

Ketika akhirnya giliran Arga naik ke panggung, suasana ruangan berubah. Nada suaranya lebih tenang, lebih terukur. Ia membuka presentasi pendek tentang validitas laporan dan konsekuensi hukum.

“Partisipasi warga penting,” ucapnya sambil menatap audiens secara bergantian. “Tapi jangan lupa, keabsahan data dan akurasi laporan juga kunci. Demokrasi tidak bisa dibangun hanya dengan trending topic. Fakta tetap harus diuji. Bukti tetap harus diverifikasi.”

Beberapa mahasiswa berbisik pada teman mereka, sementara Sinta yang duduk di dekat panggung mendengus kecil - bukan karena menentang, tetapi karena merasa ditantang. Ada kilatan berbeda di matanya, seakan kata-kata Arga baru saja memantik api baru.

Setelah sesi resmi selesai, arus manusia mulai keluar dari aula. Para pembicara dan peserta saling bertukar kartu nama, mengambil foto, atau sekadar menyapa. Di tengah keramaian itulah Arga melihat Sinta berdiri di bawah pohon ketapang kecil di halaman kampus, sedang mengetik sesuatu di ponselnya.

Arga mendekat sambil menenteng map. “Presentasimu tadi cukup ramai responsnya.”

Sinta mengangkat wajah, bibirnya membentuk senyum menyebalkan. “Bapak ngomongnya kayak dosen, susah dipahami warga.” Nadanya menyindir, tapi tidak sepenuhnya bermaksud jahat.

Arga justru tertawa, suara rendahnya membuat dua mahasiswa yang lewat sempat melirik. “Kamu juga ngomongnya kayak influencer. Semua dikira bisa diselesaikan pakai aplikasi dan hashtag.”

Sinta menyilangkan tangan. “Lho, justru karena warga gampang paham. Yang penting kan pesan sampai.”

“Dan yang penting juga prosedur nggak dilanggar,” balas Arga cepat.

Sinta menghela napas dramatis, lalu tersenyum kecil — kali ini tanpa nada provokasi. “Berarti kita saling melengkapi dong? Kamu yang nge-rem, saya yang nge-gas.”

Arga sempat terdiam, menimbang kata-katanya. Ada sesuatu dalam diri Sinta yang membuatnya sulit menolak gagasan itu. Semangatnya terlalu besar untuk dipadamkan, tetapi juga terlalu liar untuk dibiarkan berlari sendirian.

Akhirnya ia mengangguk pelan. “Mungkin begitu.”

Untuk sesaat, angin sore mengisi jeda di antara mereka. Tidak ada saling serang, tidak ada sindiran — hanya dua orang dengan cara pandang berbeda, tapi tujuan yang sama: menjaga demokrasi tetap waras.

Dan tanpa mereka sadari, pertemuan di halaman kampus itu menjadi titik awal dari kolaborasi yang kelak akan mengubah cara pengawasan pemilu di Kota Daeng. Dua dunia yang berbeda perlahan mulai menyatu.

(bersambung)

Penulis : @rminth