Lensa Pengawasan: Arga dan Cahaya Demokrasi Kota Daeng (Bagian 5 - Bayangan di Balik Poster)
|
Di tengah hiruk pikuk kampanye yang memenuhi setiap sudut kota, sebuah ruangan sunyi di lantai delapan Hotel Platinum menjadi tempat di mana arah permainan politik tengah ditentukan. Lampu putih yang terlalu terang memantul di meja panjang dari kaca bening, sementara suara mesin pendingin ruangan berdengung halus, seolah menjadi satu-satunya saksi dari rencana-rencana yang disusun dengan presisi.
Farid Mahendra duduk tegak, jas hitamnya rapi tanpa satu kerutan pun. Ia bukan tipe konsultan politik yang muncul di televisi untuk memberikan komentar. Ia bekerja di balik layar — tempat di mana strategi paling halus maupun paling kotor diputuskan. Reputasinya dikenal dingin, tajam, dan tak pernah tampak ragu.
Di hadapannya, layar laptop menampilkan grafik naik-turun berbentuk kurva biru. Namun satu garis mencolok, garis merah, sedang bergerak naik stabil.
“Naik dua belas persen minggu ini,” ujar Farid tanpa ekspresi. Jemarinya mengetuk perlahan permukaan meja, mengikuti ritme pikirannya. “Tapi ada satu hal yang saya tidak suka.”
Asisten muda di sampingnya — Reno, dengan kemeja yang terlalu besar dan tatapan gugup — segera menunduk. “Apa, Pak?”
Farid memutar laptop sedikit, memperlihatkan kolom kecil di sisi kanan grafik. Kolom itu bukan tentang popularitas kandidat, melainkan metrik pemberitaan media.
“Nama Bawaslu mulai sering disebut di media.” Suaranya terasa lebih rendah, seolah mengandung ancaman terselubung. “Mereka mulai aktif.”
Reno menelan ludah, mencoba menangkap maksud bosnya. “Aktif… dalam arti memeriksa laporan warga, Pak?”
“Lebih dari itu.” Farid menyandarkan tubuhnya, menautkan jari-jari di depan dada. “Ada pola. Mereka mulai menelusuri laporan internet. Termasuk video-video dari platform baru itu… apa namanya?”
“PantauKita.id, Pak.”
Farid mengangguk pelan. “Ya. Itu.”
Reno mengeluarkan tablet, menampilkan beberapa tangkapan layar berita. “Media online mulai mengutip laporan warga. Katanya Bawaslu terlibat verifikasi.”
Farid mengerutkan kening tipis, matanya memicing seperti seorang dokter bedah yang baru menemukan benjolan mencurigakan. “Jika mereka terus aktif, mereka akan menemukan hal-hal yang tidak seharusnya mereka temukan.”
Ia meneguk kopinya perlahan — bukan karena menikmati rasanya, tapi karena sedang menahan kesal. Baginya, kampanye harus berjalan sesuai skenario yang ia susun: rapi, terprediksi, tanpa gangguan lembaga-lembaga pengawas yang terlalu bersemangat.
“Kita sudah pastikan semua tim di lapangan bergerak sesuai instruksi?” tanya Farid.
“Sudah, Pak. Semua berjalan tertutup.”
“Ya,” gumam Farid datar. “Tapi selalu ada orang yang terlalu rajin.”
Ia memejamkan mata sejenak. Bayangan Arga sebenarnya belum ia kenal secara pribadi, namun namanya mulai muncul dalam rapat-rapat informal. Pengawas yang terlalu teliti. Terlalu serius. Tipe yang tidak mudah diintimidasi dengan tekanan sosial atau politik.
Kemudian, seolah menemukan ide, Farid membuka matanya dan menatap Reno lebih tajam. “Kalau mereka terlalu sibuk, kita yang harus buat mereka sibuk untuk hal lain.”
Reno mengangkat alis. “Maksud Bapak?”
Farid menampilkan senyum tipis — bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menandai lahirnya strategi baru. “Alihkan fokus mereka. Buat mereka mengejar isu yang tidak penting, atau laporan yang memakan waktu. Kita punya banyak orang di lapangan. Gunakan satu atau dua untuk menciptakan ‘kebisingan’ kecil.”
Reno mencatat cepat. “Isu palsu, Pak?”
“Isu yang terlihat penting,” koreksi Farid. “Tapi tidak berbahaya.”
Ia menutup laptopnya perlahan, seakan menutup satu bab strategi dan membuka bab baru yang lebih gelap.
“Kampanye ini bukan soal siapa yang paling benar,” lanjut Farid tenang. “Tapi siapa yang paling mengendalikan perhatian publik. Dan saya tidak mau Bawaslu menatap ke arah kita terlalu lama.”
Reno mengangguk, meski kegugupan tampak jelas di wajahnya. “Baik, Pak. Saya akan koordinasikan.”
Farid berdiri, merapikan jasnya. Di dinding belakangnya, poster besar kandidat tampak tersenyum bersih dan polos — senyum yang berbeda jauh dari strategi yang sedang dirancang di ruangan itu.
“Selalu ingat, Reno,” katanya sambil menatap poster itu, “di balik setiap wajah ramah dalam politik… selalu ada bayangan yang bekerja lebih keras.”
Dan hari itu, bayangan itu baru saja mulai bergerak.
Penulis : @rminth